Saat WFH, seluruh kegiatan akademik, perkantoran, bisnis, ibadah, hubungan sosial baik formal maupun informal seluruhnya menggunakan bantuan internet dengan berbagai aplikasinya. Masyarakat termanivestasikan ke dalam tatanan imajiner dan virtual berbasis IT.
Berbagai acara yang dahulu hanya puas manakala dilakukan secara offline, bertemu langsung, tatap muka, berkumpul dalam satu tempat, kini berbalik arah. Semuanya harus puas meskipun hanya dilakukan dalam tatanan emaginer.
Personal Trouble dan Public Issue
Dalam imaginasi sosiologi, C. Wright Mills (1959) berusaha membedakan antara personal trouble dan public issue. Personal trouble saat ini yaitu hilangnya pekerjaan dan tidak mengepulnya asap dapur, sementara public issue nya adalah munculnya orang miskin baru di tengah wabah Corona. Kemampuan kita untuk melihat realitas ini dapat dilakukan apabila menggunakan kaca mata imaginasi sosiologi dalam tataran struktur sosial.
Pengagguran yang awalnya sebagai personal trouble, tetapi karena jumlah orang miskin baru akibat pengagguran membludak maka personal trouble tersebut berubah menjadi public issue.
Macroscopic yang selalu berhubungan dengan keseluruhan struktur sosial baik tentang historis wabah yang pernah berkembang di dunia, berbagai cara penanganan, kemudian dikaitkan dengan tipe-tipe manusia diharapkan dapat menjadi imaginasi sosiologi tersendiri bagi munculnya new order pasca covid ini.
Adanya molecular yang ditandai dengan banyaknya masalah data orang miskin dan orang miskin baru perlu diselesaikan dengan arif. Pertikaian antara bupati dan bupati, gubernur dan sekda, gubernur dengan penyelenggara Kementrian dan Lembaga (K/L) yang tidak bisa diselesaikan dengan model verifikasi statistic, perlu dicarikan solusi dengan duduk bersama.
Power elite dan white collar yang berjuang bersama-sama dalam penanganan wabah dilandasi oleh keprihatinan akan isue-isue sosial kontemporer, jangan sampai menjadi ironi gegara saling silang kata. Semoga saja, penggabungan itu tidak terkesan mengokohnya teori tritunggal antara ekonomi, politik dan militer.
Alienasi Pekerjaan di Tengah Wabah
Alienasi (keterasingan) pekerja di saat pandemi ini menjadi semakin ambyar karena tidak adanya bidang ekonomi yang bisa mengawali gerak sektor riil. Akhirnya, white collar yang dibangun dari pemikiran Marx juga runtuh oleh kekuatan corona yang berhasil menggerogoti seluruh sendi bangunan ekonomi.
Alienasi seluruh pekerja berkerah putih–yang kemarin selalu ngantor tiap hari—kini harus bekerja dari rumah hingga merugikan kelas bawah, menengah dan atas. Semuanya kehilangan kekuatan.
Para kerah putih di saat WFH juga merasa terasing bagi dirinya sendiri, karena tidak pernah merasa bangga meskipun setiap hari masih mendapatkan penghasilan meskipun tidak sebanding ketika kondisi normal. Para akademisi yang setiap hari tampil di WEBINAR, atau karyanya selalu dimuat di media Nasional pun selalu merasa tidak puas karena terkungkung di rumah.
Berbulan-bulan kita telah menghabiskan hari kita dengan pekerjaan rutin berbisnis, menulis, mengikuti webinar, mengajar firtual (bahkan mengajar ruang hampa karena mahasiswanya rebahan semua), berdakwah online, dan membantu istri melakukan pekerjaan domistik, tetapi semuanya hanya menghasilkan kegembiraan semu.
Di era WFH seperti ini, seluruh kerja yang dilakukan nihil akan makna hakiki. Hasil palsu dan kegembiraan semu jualah yang kita dapatkan. Hubungan manipulative antara ayah dan istri, anak dan orang tua, kolega dan teman kerja, juga hanya mampu menghadirkan kegembiraan semu.
Selain kehilangan prestise, juga kemerosotan pendapatan riil untuk semua orang. Lapangan pekerjaan menjadi menciut. Harapan akan kejayaan semakin menipis juga. White collar yang biasanya sibuk dengan berbagai aktivitas rutin, kini hanya bisa membuka zoom atau google meeting berbaju rapi, tetapi bawah koloran atau sarungan.
Kekuatan Imajinasi Sosial
Teori Mills tentang kerah putih dan tritunggalnya juga belum bisa dikritisi (khusunya di Indonesia), karena semua yang terjadi masih sesuai. Jadi, imajinasi sosiologi Mills dalam memahami sejarah, biografi, dan hubungan di antaranya dengan masyarakat khususnya yang berkaitan dengan alienasi pekerjaan di masa pendemi ini juga masih cocok.
Hanya saja, di era WFH itu bekerja untuk menghasilkan kepuasan menjadi semu, tidak riil seperti apa yang digambarkan oleh Mills.
Aspek yang perlu ditambahkan di era masyarakat firtual seperti ini adalah kekuatan IT. Jadi yang paling tepat untuk membaca era ini adalah masyarakat emaginernya Anderson (2008) yang meskipun firtual tetapi tetap inheren dan memiliki kedaulatan penuh sebagai pribadi.
Masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang informal tetap menjadi pedagang, yang membuka toko tetap membuka toko, yang dosen tetap menjadi dosen meskipun WFH, yang penyanyi juga tetap inheren sebagai penyanyi dan sebagainya.
Masyarakat firtual saat ini ternyata telah menggeser keberadaan tatanan kehidupan masyaraat yang telah terbangun selama ini jauh sebelum Wabah Corona membabi buta. Semoga saja, seluruh muatan baik yang terbangun pada masyarakat firtual masih dapat dilanggengkan di era new order yang akan datang.
*)Dr. Basrowi, Pengamat Kebijakan Publik
Sumber : www.tintahijau.com