Selain Trio pendiri NU, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ary, KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri, ada tiga sosok pemuda behind the scene berdirinya Lembaga Pendidikan Maarif NU. Keputusan pendirian itu ditetapkan dalam forum Muktamar ke-4 Nahdlatul Ulama,17-20 September 1929 di Semarang. Memang di masa-masa awal, NU bermuktamar setiap tahun. Hari ketiga Muktamar digelar, tepatnya 19 September 1929, gagasan pembentukan Ma‘arif NU disetujui dan disahkan sebagai keputusan resmi organisasi. Momen ini ditetapkan sebagai Hari Lahir atau Harlah Maarif NU hingga kini.
Dua minggu sebelum Muktamar itu, tepatnya di awal September 1929, tiga pemuda bernama Wahid Hasyim, Mahfudz Shiddiq dan Abdullah Ubaid, bertemu di kantor Hoof Bestur Nahdlatoel Oelama (HBNO) di Jl Bubutan Kawatan Surabaya. Mereka bertemu di Kantor HBNO atas perintah perintah Rais Akbar NU Hadratus Syekh KH Hasyim Asy‘ari, setelah menerima usulan dari KH Wahab Hasbullah. Kepada Rois Akbar, Mbah Wahab menyampaikan problem pendidikan di lingkungan pesantren dan NU pada umumnya sehingga perlu dibentuk badan khusus di tubuh HBNO yang mewadahi dan menangani bidang pendidikan. badan itu yang nantinya mengurus ikhtiar pendidikan termasuk mengembangkan inovasi di tengah masa sulit era penjajahan dimana akses pendidikan tidak dibuka pada semua pihak, termasuk pesantren.
Mbah Wahab menilai, inovasi adalah kunci. Apa yang telah dirintis dan dikembangkan Wahid Hasyim di Pesantren Tebuireng, bagi Mbah Wahab adalah contoh baik yang butuh diterapkan di pesantren-pesantren lain. Di Tebuireng, Wahid Hasyim memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum. Sistem klasikal diperkenalkan untuk menyempurkan model non jenjang di pesantren, bahkan kemudah ditingkatkan menjadi sistem tutorial. Selain itu, pendidikan NU bagi Mbah Wahab juga harus mendukung ikhtiar NU dalam mempertahankan dan mengembangkan Islam Ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja) sekaligus membentuk akhlak umat dan bangsa.
Untuk memastikan tercapainya program HBNO di bidang pendidikan inilah, makanya Mbah Wahab mengusulkan dibentuknya badan baru tu. Hadratus syekh pun menyetujui dan meminta agar puteranya, Wahid Hasyim menyampaikan pokok-pokok pikiran yang dimaksud Mbah Wahab kepada Mahfudz Shiddiq dan Abdullah Ubaid. Dua orang ini ditunjuk Hadratus Syekh, karena selain santri Tebuireng, keduanya dikenal lebih dulu sebagai aktivis dan motor penggerak NU. Sejak memulai dengan pertemuan di Bubutan itu, mereka praktis bertiga bekerja hanya dua pekan untuk mempersiapkan konsep kelembagaan, kepengurusan dan program badan pendidikan itu. Misi yang tak mudah, karena konsepnya akan dipaparkan kepada para kiai dan perwakilan konsul NU dari seluruh Indonesia. Dan sejarah mencatat, konsep tiga pemuda gus itu diterima bulat muktamirin dan berdirilah Maarif NO pada 19 September 1929, tiga tahun setelah NU berdiri.
Sejarah adalah milik anak muda cerdas dan pemberani. Wahid, Abdulloh dan Mahfudz adalah contoh ke sekian dari sejarah peradaban manusia. Ketiga pemuda ini adalah santri pesantren dan para anak kiai yang dicatat sejarah kelak menjelma menjadi kiai besar bahkan pimpinan dan pendiri bangsa. Wahid Hasyim, putra sulung Hadratus Syekh Hasyim Asy’ary. Usianya paling muda, Saat obrolan awal september itu, usia Wahid masih belia, baru 15 tahun! Situasi dan kualitas pendidikan yang ditangani langsung sang ayahanda Hadratus Syekh Hasyim Asy’ary yang menjadikannya lebih matang dari usia belianya. Dia lahir di Jombang, 1 Juni 1914. Tapi jangan ditanya soal sepak terjangnya di bidang pendidikan.
Dialah yang merintis pendidikan di Pesantren ayahandanya di Tebuireng, sehingga mengilhami berdirinya Lembaga Pendidikan Maarif NU. Memadukan pola pengajaran agama di pesantren dengan ilmu pengetahuan umum yang kala itu hanya milik penjajah dan kelas atas adalah jariyah pemikiran gerakan yang tak terkira. Pesantren yang tak mengenal kelas, dipadupadankan dengan sistim klasikal ala pendidikan barat, sehingga berjenjang. Tak cukup hanya di situ, Wahid Hasyim pun mengembangkan lagi sistim klasikal tadi menjadi sistim tutorial. Dalam aspek kebahasaan, selain pelajaran Bahasa Arab, santri diajari Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda. Wahid menguasai betul dua bahasa asing itu dengan baik, walau diraihnya dengan belajar otodidak, bukan fasilitas pendidikan Hindia Belanda.
Adapun Abdulloh Ubaid, dia seorang guru sekaligus aktivis. Tokoh pemuda yang memiliki gerak dan pemikiran mendahului zamannya. Di antara dua lainnya, Abdulloh yang tertua. Usianya lebih tua 15 tahun dari Wahid, dan 7 tahun dari Mahfudz. Lahir di Surabaya pada tahun 1899, putera Kiai Ali yang wafat saat Abdulloh usia 11 tahun. Sahabat Kiai Ali, bernama Kiai Yasin Pasuruan mengambil dan memelihara anak yatim ini dan memberi tambahan Ubaid (hamba kecil) untuk membedakannya dengan Abdulloh bin Yasin, sang ‘kakak’. Pendidikan formal Abdulloh Ubaid didapat dari Madrasah Al Chairiyah Surabaya. Usia 14 tahun, mondok ke Hadratus Syekh di Tebuireng selama lima tahun. Tahun 1919 mengajar di Madrasah Nahdlatul Wathan Surabaya dan juga di almamaternya, Madrasah Al Chairiyah. Abdulloh lihai dalam mengajar dan menggunakan bahasa Arab sebagai pengantarnya. Sambil menjadi guru di Madrasah Nahdlatul Wathon Abdulloh berkontribusi memajukan pendidikan di kalangan NU melalui Nahdlatul Wathan, hingga membuka cabang-cabang di beberapa kota di luar Surabaya. Konsepnya pada kepemudaan, juga mengantarnya sebagai penggagas dan pendiri Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) bersama Mahfudz Siddiq dan Thohir Bakri.
Mahfudz Shiddiq juga santri Tebuireng. Lahir tahun 1906. Ayahnya, Kiai Muhammad Shiddiq, asal Lasem yang menetap dan wafat di Jember. Darinya lahir para kiai dan pemimpin NU, sebagaimana Kiai Abdulloh Shiddiq, ketua PWNU Jawa Timur, Kiai Ahmad Shiddiq, Rois Am PBNU dan cucunya,, KH Ali Manshur Shiddiq menggubah Shalawat Badar. Sejak di pesantren, Mahfudz dikenal sebagai penggerak NU lewat majalah dan organisasi kepemudaan. Di masa remajanya, Mahfudz seorang aktivis dan organisatoris yang piawai. Jiwa kependidikanya, tumbuh sejak masih belia, menjadi pengasuh dan pengajar bagi adik-adiknya. Sosoknya sabar, tenang, dan cerdas, namun necis dan rapi. Wawasan berfikirnya amat luas dan modern, baik dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum. Dalam usia muda, Mahfudz sudah menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU, Rais PBNU. Dialah perumus konsep kemandarian ekonomi warga NU, Mabadi Khaira Ummah sekaligus perintis Gerakan Ekonomi Syirkah Muawanah. Kemampuan menulisnya membawanya menjadi Pemimpin Majalah Berita Nahdlatul Ulama dan menelorkan beberapa buku, salah satunya berjudul jtihad dan Taqlid untuk Rekonsiliasi.
Sejarah Maarif adalah estafet sejarah perjuangan tiga pemuda santri ini yang lantas menjadi Kiai. Selain menetapkan pendirian Badan Khusus Pendidikan bernama Maarif Nahdlotoel Oelama, Muktamar ke-4 NU di Semarang 1929 juga menunjuk KH Abdulloh Ubaid sebagai Ketua HBNO yang membidangi Maarif. KH Wahid Hasyim dan KH Mahfudz Shiddiq terus membantunya. Tahun 1932 hingga 1935, KH Wahid Hasyim harus meninggalkan tanah air karena dikirim Hadratus Syekh menuntut ilmu ke Makkah. Melalui Muktamar NU di Malang tahun 1937, KH Mahfudz Shiddiq ditunjuk Hadratus Syekh dan muktamirin menjadi Ketua Umum PBNU dalam usia yang masih muda, 30 tahun. Setahun berikutnya, 1938 KH Abdulloh Ubaid wafat. Sepulang dari Makkah, KH Wahid Hasyim meneruskan inovasi pendidikannya dengan mendirikan Madrasah Nidzamiyah dan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta pada tahun 1944. Di tengah kesibukan Kiai Wahid menjalankan peran pentingnya dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, di tahun 1944 itu pula KH Mahfudz Shiddiq wafat. Kiai Wahid pun harus melanjutkan kepemimpinan Kiai Mahfudz di PBNU.
Pasca kemerdekaan, perjuangan pendidikan KH Wahid Hasyim kian menjadi. Jabatan Menteri Agama digunakannya untuk mendirikan perguruan tinggi agama islam yang berkembang menjadi STAIN, IAIN dan UIN, sekolah/pendidikan guru dan hakim agama, memasukkan pengajaran agama Islam di sekolah negeri hingga mengusulkan ke Bung Karno akan perlunya Masjid Negara di Indonesia, dan itulah Masjid Istiqlal. Kiai Wahid Hasyim wafat pada 1953 dalam sebuah kecelakaan mobil di Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi dan Bandung. Kala itu Kiai Wahid ditemani putra sulungnya, Abdurrahman Addakhil untuk sebuah acara NU di Sumedang, Jawa Barat.
Kiai Wahid wafat dalam usia 39 tahun (1914-1953). KH Abdulloh Ubaid pun berpulang dalam usia yang sama, 39 tahun (1899-1938). Sementara, KH Mahfudz Shiddiq wafat saat usianya 38 tahun (1906-1944). Tiga sosok yang amat berjasa sejak masih muda, dan kemudian wafat dalam usia yang relatif muda, tak genap 40 tahun. Dengan selisih usia masing-masing 7 tahun, sepertinya Allah Yang Maha Kuasa sudah menata sedemikian rupa, bagaimana agama dan bangsa diperjuangkan tiga hamba terbaik dalam estafet dan periode perjuangan yang indah dan sempurna. Alfatihah…
Sumber : LINK