Secara teoretis, menulis itu adalah sebuah kreativitas menyusun bahasa terstruktur agar menarik bagi pembaca dan bersifat informatif. Dalam perspektif penulisan, tentu seorang penulis harus memiliki kecakapan atau teknik untuk mendeskripsikan sebuah narasi, mulai awal cerita hingga penutup cerita.
Untuk menulis secara baik, tentunya seorang penulis membutuhkan ide atau gagasan. Bagaimana membangun plot (alur cerita) dari pengalaman-pengalaman pribadi , dari orang lain, atau juga dari lingkungannya. Hampir sebagian besar penulis, baik secara langsung atau tidak langsung, pasti menulis sebagian kecil dari pengalaman pribadi. Meski ini tidak bersifat mutlak (absolut).
Pengalaman pribadi dapat dipadukan dengan interaksi sosial dalam rekaan dan plot fiksi. Namun, dalam tulisan yang sifatnya non-fiksi harus dibangun dengan fakta realita dan logika keilmuan yang merupakan sublimasi sebuah peristiwa atau kejadian. Untuk jenis ini biasanya masuk dalam kategori opini, feature, jurnal dan berita jurnalistik.
Dalam beberapa kasus, seorang penulis untuk memulai gagasannya sangat bergantung pada kondisi psikologis pribadi. Tulisan dalam skematik sistem adalah runutan peristiwa serta pengolahan sumber ide (logika manusia) dan kesiapan emosi (psikis) untuk mengolah kalimat yang sesuai.
Beberapa fakta menunjukkan kondisi penulis dalam memulai sebuah naskah sangat bergantung kepada ide cemerlang, dan harus dari mana memulai plot awal (lead). Kegagalan penulis dalam memulai naskah karena sering tergantung pada mood (perasaan). Sehingga, ketika ingin memulai sudah berada dalam tekanan-tekanan yang sifatnya internal.
Maka seorang penulis harus membiasakan diri dan melatih pikirannya dengan hal-hal positif. Sebuah usaha yang dilakukan dalam tugas-tugas keilmuan, sering menjadi rumit dan tidak sesederhana orang melihatnya. Sebuah pameo masyarakat, ada banyak orang yang hebat dalam berorasi, tetapi begitu sulit ketika menuangkan ide pikirannya dalam bentuk tulisan.
Menurut Samuel Johnson (penyair, esais, leksikografer berkebangsaan Inggris; 1709 – 1784): seorang penulis memulai sebuah buku, seorang pembaca menyelesaikannya. Ini terkesan filosofis, tetapi jika ditelisik lebih dalam dan seksama, memiliki makna karakteristik. Maka, seorang penulis tidak perlu merisaukan dengan apa yang ditulisnya selain melatih kepribadiannya melalui menulis agar menjadi lebih baik.
Lebih lanjut, dalam melatih diri dapat diartikan sebagai sebuah proses dalam melewati fase pembelajaran. Tujuannya untuk mencapai tingkat kematangan, baik kemampuan menulis (skills) dan sikap (attitude). Yang pada akhirnya, di titik kematangan penulis, menunjukkan perilaku bijak.
Meski ini bukan sebuah instrumen penting dalam fase pembelajaran menuju kepribadian ikhlas, tetapi bisa dianggap referensi dalam menakar permasalahan kondisi kejiwaan penulis. Dalam riwayat tasawuf, seorang penulis besar yang telah menulis kitab religius (muslim) yakni Imam Al-Ghazali, ketika sedang menulis, tiba-tiba seekor lalat hinggap di tinta penanya.
Apakah kondisi semacam ini, pernah dialami oleh sebagian penulis? Riwayat tentang Imam Al-Ghazali ini dikisahkan oleh Nawawi Ibn Umar al-Jawi dalam kitabnya Nashaih al-‘Ibad, dimana Imam Al-Ghazali merefleksikan keikhlasannya hanya karena seekor lalat. Pada tingkatan ini, seorang penulis menerjemahkan tranformasi ikhlas itu, tentu sangat beragam.
Bahwa, di masa kini dengan kecepatan teknologi, seorang penulis untuk menjadi penulis dengan kepribadian ikhlas tentu memiliki tantangan berbeda. Lalu, apakah seorang penulis harus belajar teologi sufi untuk mencapai tingkatan kepribadian ikhlas? Bisa iya, bisa tidak! Sebab belajar teologi sufi bersamaan dengan menulis yang memanfaatkan medium teknologi, terminologinya bisa berbeda.
Konteks sufiisme sangat bertentangan dengan pemanfaatan teknologi untuk kepentingan pembentukan sikap dalam cerminan hakikat (agama). Tetapi dengan zaman yang berbeda, kepentingan informasi tentang keilmuan yang dibaca oleh pembaca harus lebih cepat. Maka keniscayaan ini menjadi tantangan baru bagi penulis untuk menginterpretasikan, apa dan bagaimana yang dimaksud dengan pembentukan kepribadian ikhlas.
Kita tidak bisa bayangkan, bagaimana misalnya seorang alim (agama) yang menulis buku atau karya keilmuan yang harus secepatnya dibaca oleh orang lain (pembaca), jika tidak menggunakan kecepatan teknologi. Mungkin, apa yang ditulisnya menjadi kurang menarik, hanya karena selisih waktu antara medium teknologi dan konvensional.
Interaksi sosial sebuah spektrum yang sangat penting bagi seorang penulis. Melalui interaksi ini, penulis dapat melakukan reinkarnasi kepribadiannya. Bagaimana mendapatkan informasi dunia luar, bagi penulis merupakan referensi dalam mengembangkan bakat penulis. Tidak semata, seorang penulis hanya karena bakatnya, dapat meningkatkan kecakapan kemampuan menulis secara sistematis.
Interaksi sosial merupakan pengenalan terhadap nilai-nilai kemasyarakatan, budaya, dan juga spiritual. Di samping itu untuk mendapatkan wawasan yang lebih luas. Dari beberapa aspek ini, ada yang dikatakan sebagai kebutuhan pribadi yang tidak hanya untuk memuaskan lahiriah saja, tetapi juga aspek batiniah. Harus ada keseimbangan antara faktor internal dan eksternal.
Ada beberapa persoalan mendasar bagi seorang penulis untuk menghasilkan karya tulisan bagus. Bagaimana menuangkan gagasan ke dalam tulisan yang menarik hingga sampai kepada pembaca (publikasi). Belajar bagaimana tulisan yang efektif, penulisan yang tepat, hingga merumuskan kalimat dengan struktur yang tepat.
Ada yang mengatakan, bahwa menulis itu harus dengan perasaan yang menyenangkan. Sebab langkah ini menjadi efek domino untuk tingkatan yang lebih baik. Serta tentunya sering dianggap obat jiwa bagi seorang penulis. Jika ini dilakukan secara konsisten, maka lambat laun kepribadian seorang penulis akan menjadi pribadi ikhlas.
Bagaimana dengan penulis pemula untuk menuju kepribadian ikhlas? Maka secara sederhana, seperti seorang siswa harus melewati beberapa fase (kelas) dalam proses pembelajaran. Jika ini dilihat dari sudut pandang keilmuan, maka menulis menjadi sebuah objek untuk mencapai tujuan.
Keikhlasan yang dimaknai sebagai hati yang tulus; hati yang bersih; adalah pencapaian seseorang dalam keilmuannya. Keikhlasan sebagai entitas yang tidak berwujud, juga tidak tampak (samar), tetapi dapat dirasakan dalam hal-hal kebaikan. Kita tentu banyak tahu, sejak beberapa abad silam, banyak penulis beraliran sufi yang sangat terkenal dengan sikap-sikap keikhlasannya.
Bahwa seorang penulis masa kini tidak harus menjadi sufi, bukan berarti tidak mampu menjadi orang sabar dan ikhlas. Sebab perilaku sabar sering dianalogikan sebagai bentuk perilaku ikhlas. Bagaimana kita melihat bahwa karya-karya tulisan beraliran sufi sebagai warisan agung, yang akhirnya banyak digandrungi oleh pembaca kini.
Konteks modernisasi sering dianggap gagal dalam mengatasi problematika hidup, termasuk juga tidak mampu mengobati kegelisahan manusia. Rangkaian dalam menulis bisa juga memberikan pencarian spiritual manusia untuk mencapai tujuan. Maka salah satu cara untuk mengatasi hal ini, membiasakan diri untuk menulis.
Pada beberapa kajian, penulis muslim di abad silam menggunakan tema cinta dalam menggagas pemikirannya, untuk dituangkan dalam karya-karyanya. Seperti misalnya: Jalaluddin Ar-Rumi, dan lain-lain.
Sebetulnya, ada beberapa cara atau metoda bagi penulis, tetapi yang terpenting bagaimana membangun kerangka kepribadian dirinya. Jika menulis hanya untuk mendapatkan kesenangan atau kepuasan belaka, maka tujuan ini tidak akan mencapai pada kepribadian ikhlas. Sebab pada titik tertentu akan memunculkan rasa ego dan sombong.
Mengutip ayat-ayat sastra Budi Darma, seorang sastrawan, bahwa banyak orang yang menulis hanya karena ingin disebut sebagai sastrawan, tetapi ia menulis tidak memiliki tujuan yang jelas. Tentu ini dibaca sebagai sebuah kegelisahan panjang seorang sastrawan senior, yang mendedikasikan keilmuannya lewat karya-karya sastra. Sebuah keprihatinan tetapi sekaligus keikhlasan yang tidak bisa dilihat secara kasat mata.
Secara terpisah, Pramoedya Ananta Toer (sastrawan) mengatakan: “menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Maka disini bukan hanya tulisan yang menjadi abadi, tetapi lebih dari itu, keikhlasan dalam menulis itu juga keabadian bagi ketenangan jiwa. ***
Oleh : Vito Prasetyo (sastrawan dan peminat budaya)
Sumber : LINK